Senin, 18 Maret 2013

Posisi Peristiwa Situjuh Dalam Sejarah Indonesia

Pendahuluan
Pada makalah ini saya ingin mengemukakan posisi Peristiwa Situjuh Batur 15 Januari 1949 dalam perkembangan sejarah Indonesia. Ini perlu dikemukakan karena selama ini Peristiwa Situjuh sering dipahami sebagai bahagian dari Sejarah lokal Sumatera Barat. Hal itu setidaknya terlihat dari semangat Peristiwa Situjuh yang dilakukan setiap tahunnya.
Tetapi saya pribadi tidak terlalu berpretensi untuk mengusulkan bahwa peristiwa itu menjadi bahagian dari sejarah nasional secara legal formal, karena hal yang sangat penting adalah memberikan kesadaran akan sejarah pada setiap orang, baik masyarakat maupun pemerintah. Satu hal yang sangat penting menurut saya adalah melakukan pengkajian ulang mengenai Peristiwa Situjuh Batur dan Limapuluh Kota umumnya . Kalau memang kita ingin peristiwa-peristiwa sejarah di sekitar daerah ini diperhatikan. Karena dengan menulis, orang akan membaca. Tulisan dan penerbitanlah satu-satunya jalan untuk mengangkat peristiwa Situjuh ke ruang publik.
Meletusnya PDRI
Peristiwa Situjuh Batur berkaitan dengan agresi Belanda ke-2, peristiwa itu ditandai dengan dibomnya Yogyakarta dan Bukittinggi oleh Belanda pada tanggal 19 Desember 1948. Rentetan peristiwa itu adalah ditangkapnya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden M. Hatta beserta pemimpin lainnya. Soekarno dan Hatta kemudian dwitunggal itu pun diasingkan ke Bangka.
Peristiwa pemboman terhadap Bukittingi dan daerah sekitarnya tentu menjadi pengalaman yang tragik, romantik sekligus heroik bagi para pelaku dan masyarakat pada masanya. Diketahui pada tangga 18 Desember 1948 pesawat tempur Belanda, meraung di udara Bukittinggi , awalnya aksi pesawat itu dikira pesawat yang membawa Presiden Soekarno yang singgah di Bukittingi untuk selanjutnya pergi ke India.
Kiranya pada pukul 08.00 pagi tanggal 19 Desember Belanda menyerang kota Bukittinggi, Pusat Pemerintahan Sumatera. Selain itu beberapa tempat seperti Pariaman dari arah laut, Padang Panjang, dan Payakumbuh juga diserang oleh Belanda dengan Mustangnya. Akibatanya berbagai fasilitas pemerintahan dan masyarakat hancur. Serangan itu diikuti oleh penyebaran pamplet oleh Belanda. Isinya yang penting antara lain Presiden Soerkano dan Wakil Presiden Muhammad Hatta ditangkap oleh Belanda. Selain itu Belanda mengajak semua pihak untuk bekerja sama menghancurkan para “teroris-teroris”, tak lain adalah poara pejuang Republik Indonesia[1].
Dibomnya Bukittinggi sebagai Pusat Pemerintahan Sumatera menimbulkan inisisatif dari beberapa pimpinan yang ada di Sumatera. Pertama inisiatif, Tengku M. Hasan CS. Segera setelah pemboman ia mengadakan pertemuan bersama antara Tengku Muhamammad Hasan (Komisariat Pemerintahan Pusat), Mr. M. Nasroen (Gubernur Sumatera Tengah) dan Mr. Sjafruddin Prawira Negara (Menteri Kemakmuran ) yang kebetulan sedang berada di Sumatera. Pertemuan itu diadakan di gedung kediaman Wakil Presiden M. Hatta. Karean tidk tuntas, pertemuan juga dilakukan di rumah Mr. Tengku Mohammad Hasan[2]. Ada dua hal yang penting digariskan dalam dua pertemuan itu, yaitu ide untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dan segera menghimbau rakyat untuk mengungsi. PDRI perlu didirikan untuk menjaga agar jangan terjadi vakum kekuasaan [3].
Kedua insisiatif dari St. M. Rasjid, yang kebetulan pada waktu pemboman yang dilakukan tentara Belanda terhadap Bukittinggi sedang berada di Pariaman untuk menjenguk tiga buah kapal barang yang datang dari Singapura. Ia dengan penuh bahaya melewati Sicincin dan Padang Panjang menuju Bukittingi kira-kira pukul 11.00 wib pagi tanggal 19 Desember. Sementara itu tentara Belanda didengar sudah diterjunkan di Singkarak. Sesampainya di Bukittinggi Rasjid langsung mengadakan rapat dengan mengundang Dewan Pertahanan Daerah (DPD) dan beberapa pejabat daerah untuk bersidang. Karena kesibukan menyelamatakan keluarga untuk mengungsi maka banyak di antara undangan yang tidak hadir. Pada tanggal 20 Desember Mr S.M. Rasjid kembali mengundang kepala-kepala jawatan untuk mengadakan rapat, namun rapat ini gagal karena Bukittinggi terus dibom oleh tentara Belanda. Rapat itu baru terlaksana malam tanggal 20 Desember tersebut. Beberapa instruksi yang penting dari Residen Rasjid yang dirumuskan malam itu adalah: menyelamatkan barang-barang penting kepunyaan pemerintah, mengamankan penduduk, mengusngi keluar kota, tidak boleh bekerjasama dengan Belanda serta membumihanguskan kota sebelum ditinggalkan. Selain itu, Rasjid selaku residen Sumatera Barat juga menghimbau seluruh penduduk untuk memperlambat gerak musuh dengan menumbangkan pohon-pohon ke jalan yang kemungkinan dilewati kenderaan patroli Belanda, merusak jembatan dan sebagainya. Rapat terakir Residen Sumatera Barat adalah pada jam 11.00 tanggal 21 Desember, rapat ini diadakan sebelum Rasjid bersama keluarga meninggalkan Bukitttinggi menuju Payakumbuh.
Sampai di Payakumbuh jam 01.00 malam, Rasjid pun berkumpul dengan jajaran sipil dan militer untuk mensosialisasikan kebijakan Pemerintahan Sumatera Barat atas terjadinya serangan Belanda sejak tanggal 19 Desember. Ironisnya menurut Rasjid pertemuan itu diadakan di rumah dr. Anas, yang oleh masyarakat Payakumbuh dianggap sebagai kakitangan Belanda. Tetapi menurut Rasjid dr. Anas tidak membocorkan hasil pertemuan itu.[4]
Pada tanggal 22 Desember 1948 beberapa pejabat Republik yang ada di Sumatera sudah berkumpul di Halaban, saat itu pula tentara Belanda sudah menguasai Bukittinggi. Segera pada tanggal tersebut PDRI disusun dan kemudian diumumkan ke seluruh pelosok Nusantara bahkan ke mancanegara. Struktur PDRI bisa dilihat sebagai berikut:
Mr. Sjafruddin Prawiranegara: Ketua PDRI/Menetri Pertahanan dan Penerangan/ Mewakili Menteri Luar Negeri.
Mr. Tengku Mohammad Hassan : Wkil Ketua PDRI/Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan/mewakili menteri dalam Negeri dan Menetri Agama.
Mr. Lukman Hakim : Menteri Keuanga/ mewakili Menteri Kehakiman.
Ir. Mananti Sitompul : Menteri Pekerjaan Umum/mewakili Menteri Kesehatan
Ir. Indratjaja : Menetri Perhubungan/mewakili Menetri Kemakmuran
Mr. Sutan Muhammad Rasjid : Menteri Perburuhan dan Sosial/mewakli [5]Menteri Pembangunan dan pemuda serta mengurus soal-soal kemanan.
Dari struktur dan personal yang menjabat itu perlu dipahami bahwa PDRI bukanlah pemerintahan masyarakat Sumatera apalagi Sumatera Barat, karena ia dijabat dari berbagai unsur. Dan tujuannya juga untuk melanjutkan tugas pemerintahan pusat yang sedang vakum.
Hal yang penting dalam konteks ini adalah bagimana kondisi perjuangan PDRI di sekitar Limapuluh Kota dan korelasinya dalam keberadaan Republik Indonesia. Perlu diketahui bahwa PDRI mobil, dan dua pusat pemerintahan yang agak menonjol adalah di Kototinggi (Limapuluh Kota) dan Bidar Alam (Solok Selatan). Dipilihnya Kototinggi sebagai salah satu pusat pemerintahan Sumatera Barat dan PDRI tentu dengan alasan bahwa nagari Kototingi dianggap aman dan srategis.Semenetara Bidar Alam strategis untuk pertahanan dan tidak begitu jauh dari sumber kebutuhan pangan. Kedua daerah ini berada di pinggiran dan lebih mudah untuk berhubungan keluar.
Pemerintah dan Masyarakat Lima Puluh Kota: Memperjuangkan Republik dari Nagari
Selain Yogyakarta dan Bukittinggi beberapa kota kecil di Sumatera juga diserang oleh Belanda, salatu satunya adalah Payakumbuh. Beberapa nagari yang dekat dengan kota Payakumbuh diserang dari udara dengan poesawat Catalina sehingga mengakibatkan hancurnya beberapa fasilitas dan mengenai beberapa penduduk. Seperti yang diungkapkan oleh Sekretaris Kapupaten Limapuluh, Anwar ZA:
“tembakan dari pesawat udara yang dilancarkan Belanda mengenai 2 (dua) buah bis yang bermuatan penuh: sebuah bis terkena tembakan di Piladang (arah barat kota payakumbuh) dan seluruh penumpangnya korban’ dan satu lagi du batang tabit juga mengorbankan seluruh penumpang bis itu. Semua korban itu diangkat ke RSU Payakumbuh dan dibaringkan di kamar jenazah. ....ada yang pontong badannya, pecah kepalanya, putus kaki dan sebagainya.”[6]
Memperhatikan perkembangan kondisi, pada tanggal 20 Desember Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota yang berpusat di Payakumbuh langsung mengadakan koordinasi dan membicarakan mengenai kemungkinan langkah-langkah yang mesti diambil untuk menyelamatkan pemerintahan dan keselamatan masyarakat. Dua hari setelah itu Pemerintah Darurat Republik Indonesia terbentuk di Halaban. PDRI dan Belanda pun ibarat berkejaran dengan maut. Tak lama setelah anggota petinggi PDRI melewati kota Payakumbuh, maka belanda pun menguasai penuh kota tersebut.
Kondisi Pemerintahan Lima Puluh Kota tercerai berai, kecuali dikabarkan bahwa Bupati Alifudin Saldin masih berada dalam kota. Sebahagian pegawai terpencar ke Payakumbuh Utara seperti Koto Tinggi dan sebahagian lagi terpencar ke selatan seperti ke arah Situjuh dan sebagainya. Akibat keterpencaran itu maka sulit bagi Bupati untuk mengkoordinasikan Pemerintahan. Untuk menyelamatkan pemerintahan Gubernur Militer Sumatera Barat di Kototinggi mengangkat Arisun St Alamsyah sebagai Bupati Militer. Dalam pemerintahan yang baru Arisun mencoba untuk mengorganisasi wilayah kecamatan di Lima Puluh Kota. Namun belum berapa lama memerintah Arisun gugur di Situjuh Batur.[7]
Berbeda dengan Bukittinggi, ketika dilancarkan Agresi Militer kedua , Kabupaten Limapulupuh Kota menjadi lebih sibuk. Karena daerah itu menjadi pusat administratif Sumatera Barat dan basis bagi perjuangan PDRI. Sejak dijadikan Kototingggi sebagai salah opusat aktivitas PDRI dan Pusat Pemerintahan Sumatera Barat, tak kurang 700 orang pegawai dan pejabat Sumatra Barat beraktivitas di sana. Konsumsi pegawai itu selama PDRI menjadi lebih ringan karena adanya dukungan dari masyarakat dan di-back up oleh kebijakan Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota. Pengakuan Rasjid:
“Bukan hanya yang berwujud materi saja yang dikorbankan rakyat kecamatan Gunung Mas. Bahkan jiwa pun ikut mereka korbankan dengan ikut pergi ke front di sekitar payakumbuh untuk bertempur dengan Belanda. Tidak kuat rasanya saya menuliskan bagimana menanggung beban utang budi dan pengorbanan dari semua rakyat seluruh kecamatan itu. Sampai nyawa bercerai dengan badan tak akan saya dapat melupakan kebaikan hati mereka”[8]
Sebelum peristiwa Situjuh Batur 15 Januari 1949, beberapa kebijakan untuk mendukung perjuangan sudah dikeluarkan oleh Bupati Militer Arisun, namun tampaknya koordinasi terhadap pemerintahan tampaknya kurang jelas.Sehingga intruksi yang dikeluarkan Bupati banyak yang tidak dilakukan. Sementara maslah sosial dan ekonomi juga berkembang sejalan dengan banyaknya para pengungsi dari daerah lain yang datang ke nagari-nagari di Limapuluh Kota.
Beruntunnya serangan Belanda sejak tanggal 19 Desember tampaknya membuat tidak berdaya tentara, polisi dan barisan perjuangan. Semuanya sudah lari menyelamatkan diri dan keluarga ke nagarai-nagari. Kelemahan itu kelihatan saat terjadinya patroli bermotor Belanda ke Koto Tinggi tanggal 10 Januari 1949. Artinya beberapa instruksi dari Gubenrnur Militer dan Pemerintahan Kabupaten Lima Puluh Kota tidak terlaksana.
Perisyiwa patroli bermotor ke Kototinggi tanggal 10 Januari mendapat perhatian serius dari Gubernur Militer, S.M. Rasjid. Malam setelah patroli Bea mundur ke Payakumbuh, Rasjid mengundang seluruh elit perjuangan di Kototinggi untuk rapat. Selain rasjid, beberapa orang yang ikut rapat malam itu antara lain, Komandan teritorum Sumatera Barat, Letkol. Dahlan Ibrahim, Mayor a Thalib, Ketua MPRD, Chatib Sulaiman, Djuir Muhammad dan Anwar St Saidi. Rapat itu telah memutuskan untuk membentuk koordinasi yang lebihbaik baik antara tentara, BPNK dan wali perang, perusakan jalan dan mengadakan pertemuan yang lebih luas di Situjuh Batur untuk mengadakan kordinasi . Hal yang juga penting dan diagendakan adalah memecahkan maslaah pasukan batalyon singa harau yang pindah ke Payakumbuh.[9]
Peristiwa patroli Belanda tanggal 10 januari ke Koto Tinggi juga menjadi catatan penting bagi pemerintah Limapuluh Kota. Untuk itu, beberapa strategi yang diinstruksikan oleh Pemerintah Limapuluh Kota sebelum perisitiwa Situjuh Batur pun dikeluarkan. Intruksi itu antara lain, rumah-rumah yang berada di pinggir jalan jangan dikunci pada siang hari, sebab musuh biasanya lewat pada siang hari, karena itu sebaiknya ada anggota keluarga yang tinggal untuk memata-matai musuh. Kemudian diharapkan di setiap 500 meter pada jalan-jalan besar diharuskan merebahkan pohon ke jalan untuk merintangi musuh. Kemudian diharuskan membunyikan tontong bila diketahui ada musuh yang masuk nagari. Setiap Badan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK) hendaklah meningkatkan aktivitasnya siang dan malam. Instruksi lain adalah meruntuhkan beberapa jembatan penting di sekitar kota, sehingga Belanda tidak bisa patroli ke luar kota.[10]
Tragedi dan Problematika Perjuangan
Peristiwa Situjuh Batur sudah terjadi 58 tahun yang lalu. Peristiwa itu pasti meninggalkan kesan yang dalam bagi para pelakunya dan masyarakat yang menyaksikannya. Mungkin di sana ada duka, romantisme sejarah, heroik dan sebagainya. Kadang kala pembicaraan peristiwa Situjuh hampir identik pula dengan pengkhianatan Kamaluddin Tambiluak, seorang Letnan II yang pernah diutus dalam penyelundupan hasil bumi ke Singapura oleh Divisi Banteng.Namun secara lebih jernih dan luas peristiwa Situjuh mesti ditempatkan di atas krisis yang lebih luas, baik di tingkat pemerintahan PDRI maupun di Lima Puluh Kota. Tidakkah beberapa faktor sebelum peristiwa Situjuh Batur membuka peluang untuk terjadinya tragedi?
Dari arsip-arsip Limapuluh Kota sebelum peristiwa Situjuh Batur, tidak banyak koordinasi yang berarti untuk perjuangan di daerah ini. Terakhir sekali Bupati Arisun hanya memberikan pembagian tugas sebagai ganti dari Susunan Organisasi pemerintahan, seperti bidang Politik, Pertempuran, Keamanan, Propaganda Siasat dan persenjataan. Susunan ini tentu lemah dan tidak effektif untuk perjuangan.[11]
Sementara dalam bidang militer terjadi perselisihan dan salah paham di antara kelompok militer. Kembalinya 2 pasukan Singa harau dari Sawahlunto masuk dalam agenda rapat yang akn dibicarakan di Lurah Kincir, sehingga dua pasukan itu tidak diikutkan dalam mengawal rapat. Pengawalan rapat lebih mengandalkan perusakan jalan. Pada hal rapat yang sangat penting itu dihadiri oleh oKetua MPRD Sumatera Barat.
Di kalangan tentara terjadi gap-gap yang bermuara pada konflik. Ada diantara tentara yang saling bunuh. Sebelum rapat besar di Situjuh Batur, sudah terjadi pertengkaran mengenai tempat rapat antara Syofyan Ibrahim (Kepala Intelijen Divisi IX Sumbar dengan Kamaluddin tambiluak anggota perlemngkapan Divisi IX.). Gejala-gejala seperti itu merupakan sinyal tidak kuatnya pertahanan dan keamanan.
Rencana rapat besar di Situjuh Batur sudah tersiar dari mulut ke mulut, baik antara masyarakat maupun antara para pejuang. Isu rapat itu tentu mudah diketahui oleh Belanda yang pendidikan intelijennya jauh lebih baik dari tentara Republik. Rapat itu seperti disambut dengan begitu semangat, initerlihat dari aktivitas masyarakat meruntuhkan jembatan, menumbangkan pohon dan sebagainya. Aktivitas seperti ini mudah diketahui Belanda, apa lagi sehari sebelum rapat pesawat capung Belanda sudah melintas-lintas di angkasa Situjuh. Ini tentu bahagian dari tanda-tanda yang kurang kondusif. Tetapi rapat terus dilangsungkan, dan diserang oleh Belanda.
Peristiwa Situjuh pada suatu sisi memang merenggut puluhan nyawa, dan melukai banyak orang. Namun Peristiwa Situjuh Batur telah menjadi titik tolak untuk melakukan perjuangan di basis PDRI. Konsolidasi tentara dan pemerintahan dilakukan setelah itu. Tentara yang sebelumnya tidak terkoordinasi kini dipimpin dalam satu Komando Pertempuran Limapuluh Kota, di bawah pimpinan Kaptem M. Syafei.[12] Di bawah koordinator Syafei, Payakumbuh yang dikuasai Belanda diserang pada tangal 3 Januari secara serentak. Serangan itu telah memberikan rasa gembira, meningkatkan kepercayaan di hati rakyat kepada pemerintah dan tentara. Peristiwa penyerangan yang menghancurkan beberap pos Belanda itu cukup memberikan keyakinan bahwa Republik Indonesia masih ada, karena itu kerjasama antara masyarakat dan pemimpin pun dirasakan.

Penutup
Tiap tahun peringatan Peristiwa Situjuh terus dilakukan, tiap peringatna itu ada saja cerita baru mengenai peristiwa, baik yang dituliskan di media massa maupun dalam kelisanan. Tentu, Kabupaten Limapuluh Kota sebagai salah satu basis Republik, khusunya PDRI menyimpan banyak memori. Tetapi sayang pelaku sebagai penyimpan memori itu satu per satu meninggalkan kita. Sayang jika tidak ada rekaman jejak sejarah, atau tepatnya penulisan sejarah yang agak baik mengenai berbagai peristiwa itu. Karena itu penulisan sejarah yang masih belum digali itu akan menjadi penting dan mendesak untuk mengungkapkan sejarah yang utuh. Hanya dengan itu setiap peristiwa bisa diwariskan. Juga akan ironis, bila sejarah hanya dituliskan dengan orientasi “hero” dan sebagai legitimasi dan politis. Jika tidak ada bacaan sejarah yang ditinggalkan maka sejarah iotu akan bisu pada generasi berikutnya.***

*Makalah disampaikan dalam acara 58 tahun Peringatan Peristiwa Situjuh yang diselenggarakan di Kecamatan Situjuh Limo Nagari, Kabupaten Limopuluh Kota.**Drs. Wannofri Samry, M.Hum. magister Ilmu Sejarah Universitas Indonesia, dosen Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Andalas dan Ketua Pusat Studi Informasi, Dokumentasi dan Kesejarahan (PUSINDOK) Unand Padan
[1] Marah Joenoes, Mr. H. Sutan Muhammad Rasjid, Perintis Kemrdekaan, Pejuang Tangguh, Berani dan Jujur. PT Mutiara Sumber Widya, 2003. hal. 101-102
[2] St. Mohammad rasjid, Di Sekitar PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang, 1982. hal. 11
[3] Ide pembentuk PDRI pertama sekali muncul dari Mr. Sjafruddin Prawira Negara di rumah Tengku Mohammad Hassan, yang dikemukakan kepada Mr. Tngk Mohammad Hasan, Kolonel Hidayat (Panglima Tentara teritorium Sumatera) dan M. M. Nasroen (Gubernur Sumatera Tengah). Lebih jelas lihat Rasjid, ibid. hal.11-13, Wannofri Samry, Pedesaan dalam Revolusi: Pengungsian, Partisipasi, dan Mobilisasi rakyat Sumatera Barat. Padang: Pusat Penelitian Universitas Andalas/OPF, 1984/1985. hal. 13
[4] Menurut rekaman arsip Belanda Dr. Anas pernah mendapatkan training masalah kesehatan di Belanda. Lihat Audrey Kahin, Strugle for Indpendence: West Sumatra in The Indonesiaan national revolution 1945-1950. A thesis for the Degree of Doctor of Philosophy at Faculty of The Graduate School of Cornell University, may 1970. p. 296.
[5] Keterangan lebih jauh
[6] Anwar ZA, “Keadaan pemerintahan PDRI: Hubungan Administratif dan Rakyat Sivil di Tuingkat Kabupaten (Kasus L Kota).. Makalah disampaikandalam Seminar nasional Sejarah PDRI 1948-1949 Padang, 22-24 Desember 1993. hal.2-3.
[7] Anwar ZA, Ibid.
[8] Ibid. hal. 116
[9] Azwar Dt. Mangiang, Menyingkap Tabir yang Mwenyelimuti Peristiwa Situjuh batur 15 Januari 1949. hal. 9-10.
[10] Beberpa instruksi dikeluarkan seminggu sebelum terjadi peristiwa Situjuh Batur. Lihat umpamnay” instruksi Bupati Militer Limapuluh Kota no2 dan nomor tiga tanggal 12 Januari 1949”. Arsip.
[11] Arsip Rapat Kabupaten Limapuluh Kota tanggal 11 Januari 1949.
[12] Nama-nama komando pertempuran itu yaitu; Sektor Pertempuran Naga Jantan, Garuda mas, Merapi, dan Singa Harau. Azwar Dt. Mangiang, Peristiwa Situjuh… hal. 47.
Labels: working paper
Name: Wan Samry
Location : Padang, West Sumatra, Indonesia
Lahir  : di Limapuluh Kota Sumatera Barat 28 Nopember 1967.
Kini aktif mengajar di Jurusan Sejarah Fak.Sastra Universitas Andalas Padang. Tamatan S2 Universitas Indonesia Jakarta.
Karya berupa Puisi-puisi dan artikel, dipublikasikan di berbagai media massa daerah dan ibu kota. Sebahagian lagi dipublikasikan dalam antologi Rantak 8: Antologi Delapan Penyair Sumatera Barat (Padang, 1991), Rumpun: Antologi Penyair Muda Sumatera Barat (Taman Budaya Padang, 1992), Antologi Penyair Sumatera Barat (Taman Budaya Padang, 1993), Antologi Puisi Indonesia 1997 (Bandung: KSI-Angkasa, 1997).
Pernah juga memenangkan Sayembara Penulisan Puisi Indonesia (harapan II dan III) yang dilaksanakan Direktorat Kesenian RI tahun 1990 dan nominator Sayembara Puisi anti Kekerasan KSI 2001.
Ketika Zaman Berkisar (Forum Kajian Sastra Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang, 2000) merupakan buku puisi tunggalnya, edisi photo copy.
Sebagai penulis dan peneliti, sebagian hasil riset dan tulisan sudah dibukukan. Sekarang juga menjabat sebagai Direktur Pusat Studi Informasi, Dokumentasi dan Kesejarahan (PUSINDOK) Universitas Andalas.
Sumber : http://samry.blogspot.com/

0 komentar:

Posting Komentar